Minggu, 27 Mei 2012

Pendopo Mblusuk

Salah satu alasan mengapa aku sangat menyukai Jogja adalah beberapa acara seninya sangat bersahaja, hangat, dan tentu saja, murah meriah. Kamu bisa menemui pemusik aneka instrumen di Malioboro, jazz tiap Senin yang selalu gratis, galeri yang terus buka dengan gratis pula, teater outdoor, dan pengajian non mainstream sampai subuh. 

Tetapi selain resiko pulang malam dan masuk angin, aku belajar satu hal lagi. Apa pun acaranya, baik itu ke utara maupun selatan, Jogja *coret maksudku, bersiaplah untuk nyasar. Hoah! ini aku alami dengan penuh penghayatan, sampai hapal betul bahwa tidaklah mungkin kita bertanya arah cukup dua kali di jalan dan cukuplah aku mupeng dengan konsep hunian ideal: mblusuk, jalan berkerikil, dan berpendopo.

Bagaimana pun juga, aku berjiwa seniman-wati. Dan kurasa, aku dan kebanyakan orang memaklumi mengapa banyak seniman membangun rumah di pedalaman. Oleh karena itu, kuharap aku ditakdirkan menjadi seniman yang buka lokasi outbond di tempat terpencil. Yah, maksudku, kau tahu kan pikiranku tidak jauh-jauh dari kepedulian sosial dan ceileh, kebersamaan komunal? Haha, ketawa deh, aku suka membatin di suatu lokasi penuh ukiran jawa yang ayem gitu, sambil membayangkan suatu saat aku akan mengadakan halal bihalal lebaran di sana.

Astaga, aku adalah anak, kerabat, cucu yang budiman. Right?

Ada dua pengalaman yang membuatku kini memaklumi pola acara di Jogja yang berkaitan dengan pendopo mblusuk. Yah, kita tetapkan saja ini sebagai genre pendopo mblusuk. *Dan hal ini juga bisa dikaitkan dengan lokasi kondangan: gedongan, hotel, tenda pinggir jalan desa, atau di pendopo mblusuk.

Pengalaman pertama

Loc: Bantul mblusuk. *Tahu Bantul kan? wilayah DIY yang segeluas gambreng. Ada beberapa ringroad, terminal nun jauh di sana, Imogiri tempat makam raja-raja, ada Parangtritis, dan ada... Kasihan *nama kecamatan yang melankolis.
Hajat: hadir di acara sastra
Partner tebengan: Yoah
Waktu: MALAM MINGGU

Demi apaan deh ya... *aku tahu, demi keseloan belaka, aku sedikit memaksa Yoah yang sumpah lagi pegel setengah badan, untuk menemaniku ke acara tersebut. Sebenarnya tidak kaget menjumpai dia mengiyakan karena ia pasti sedang tidak ingin membuatku ngambek, kita berantem, dan berakhir di mall nyoba satu satu sepatu. 

Sejujurnya, aku kurang paham dimana tepatnya lokasi acara. Yang aku tahu, itu di Kasihan. Sebuah daerah yang penuh dengan rumah seniman dan budayawan, sampai aku bertanya-tanya, "demi apa semua sepakat kumpul dan bikin rumah dalam satu kampung di Bantul?" dan begoknya, aku hanya mengira-ngira. Sesampai di perjalanan, astaganaga, aku baru sadar Kasihan maha-luas-saat-malming. Sedikitnya ada setengah lusin kali kami bertanya ke orang.

Nut: "Nuwunsewu, tau Senthong Seni Srengenge mboten Bu?"
Ibu-Ibu: "Hah? Senthong? Genthong kali Mbak.."
Nut: "Iya kali ya.. Bu," *lugu.

Aku dan Yoah hampir saja disesatkan ke daerah Bantul lainnya, yakni Kasongan (mungkin atas dasar spekulasi si Ibu mengenai keterhubungan genthong dan sentra industri gerabah). Alhasil, malam minggu yang biasa diisi dengan mengintegrasikan diri ke keramaian kota, ujung-ujungnya kami blusukan di desa yang sepi gundah gulana serta gelap. Sepanjang jalan, didominasi dengan pepohonan, dan rumah-rumah sederhana. Aku yang tadinya antusias dan over percaya diri pada naluri senimanku kini mulai lemes, berkali-kali memandang langit penuh bintang. *mendadak melankolis, dan tidak sampai pada level menggubah syair.

Nut: "Kata bapak angkringan, kita suruh cari lapangan, terus gapura, terus pohon asem.."
Yoah: "Hm.."
Nut: "Eh, itu lapangan!" *heboh
Yoah: "Mana?"
Nut: "Yah, kelewatan.. tadi.."
Yoah: "Ga' ada lapangan."
Nut: Ada!"
Yoah: "Ga ada..."
Nut: " Ada kok.. sumpah! ayo balik, ini udah kejauhan.."

Yoah manut. Dan kita berhenti di pinggir tanah lapang bekas sawah panen dengan garing.

Yoah: "Ini bukan lapangan Geblek!"
Nut: "Hehe..." *inosen
Yoah: "Dibilangin kok.."
Nut: "Maaf... aku ga' merhatiin. Ga' ada gawang bolanya ternyata."
Yoah: -_-"

Semakin lama, aku semakin gundah di jalanan desa yang gelap. Terlebih lagi, Yoah membisu dan aku harus berkali kali tanya, "kamu marah ya sama aku? maaf.. harusnya.. aku.." *udah mau netes. Dan memang jadi netes beneran, hahaha, norak banget deh. Aku tiba-tiba seperti anak kecil yang takut tersesat *padahal jago nyasar* dan tiba-tiba takut kami sampai di kabupaten lain dan ini merupakan malam minggu terburuk dan terjauh di dunia! Oke, berlebihan. Tapi sumpah, aku hampir nyerah. Berkali kali aku merengek pada Yoah untuk pulang saja. Dan sekarang kebalik, ah ya.. seperti biasa dia yang balik antusias. Entah semangat darimana, ia tiba-tiba menjadi tampak heroik dan gentleman di pedalaman Bantul daripada di Mcd.

Sampai jalan yang semakin menanjak dan penuh bambu, kami tercerahkan atas petunjuk jalan orang jaga ronda malam. Dan begoknya, jalan setapak pendopo mblusuk itu sudah kita lewati sebelumnya dengan ragu-ragu. Maksudku, motor aja susah lewat apalagi mobil. Sebuah mobil juga menuju rumah jalan setapak itu, dan aku sudah paranoid, dan berdoa semoga kami tidak diculik dan disekap orang dalam mobil yang menatap kami dengan misterius. Dan ternyata banyak sekali orang yang tersesat pada malam penuh bintang itu.

Lantas, setelah kejadian tersebut aku lebih bijak dalam menyikapi situasi tidak menentu dalam pencarian pendopo mblusuk.

Pengalaman kedua
Loc: Sleman mblusuk, Kaliurang, Hargobinangun. Pasti familiar kan? maksudku semenjak Tv-one heboh mengabarkan erupsi Merapi, daerah ini sangat populer disebut-sebut.
Hajat: Technical meeting pelatihan menulis
Partner tebengan: Bita
Waktu: MINGGU PAGI

Demi apaan deh... *demi gratisan, aku rela bangun pagi di hari Minggu selain untuk jalan jalan ke Sunmor (pasar Minggu UGM). Sialnya, aku pun baru tidur jam tujuh pagi, dan TM dijadwalkan pukul sepuluh pagi. Maksudku, yah, aku mau beralibi dong, begadang itu boleh saja kan saat malam minggu? Alhasil, Bita cekikikan di depan kosku.

Bita: "Hihihi.. ampun dah Nut. Mukamu masih muka bantal."
Nut: "Sumpah? paraah..!" *langsung ngaca, panik, padahal udah mandi.
Bita: "Iya. Kamu kenapa e tidur dua jam doang?"
Nut: "Khataman"
Bita: "Oh.." *terpesona
Nut: "Hunter x Hunter"
Bita: -_-" "Kirain khataman Quran"

Selebihnya aku banyak diam karena mataku terpejam. Hingga di lampu merah, aku gelagapan. Teman bareng kami, menyapa Bita dan aku tersentak bangun. Aku berharap kejadian itu tampak elegan. Ternyata, oh ternyata... tempatnya lumayan jauh juga. Kami terus ke utara ke arah Merapi. Bertanya beberapa kali, tapi tidak seekstrem pengalaman di Bantul. Meski demikian kami masih nyasar juga hingga ke gerbang retribusi objek wisata serta jembatan baru pasca lahar dingin.

Lagi lagi petunjuknya: gapura dan pohon. Kali ini pohon kelengkeng. Dan aku takjub Bita peka terhadap vegetasi *padahal ia anak Hubungan Internasional.

Sampai juga kami di Omah Petruk. Melalui jalan beraspal yang bergeronjal, berkerikil. Dengan banyak pohon salak, bambu dan semak semak. Lokasi itu tepat di ujung jalan dan luar biasa bikin betah.

Bita: "Aku jadi pengen punya rumah kayak gini.."
Nut: "Ho oh"
Bita: "Yang pekaranganya luas" *jujur
Nut: "Seluas ini Bit?" *nunjuk kebun salak dan hutan bambu dengan nada ekstrem.





Sabtu, 26 Mei 2012

Sambutan Malam Minggu



Oke, selamat senja menjelang malam minggu. Para hadirin yang berbahagia, dengan sangat menyesal saya nyatakan; saya kembali disorientasi di sebuah cafe. Jujur saja, pertanyaan saya adalah; mengapa banyak lelaki muda bergairah lantas berkumpul untuk menghabiskan malam minggunya di sini?

Maksudku, kompetisi game apa sih yang lebih menyenangkan daripada menghirup udara segar di luar sana?

Saya yang merupakan wanita santun pencandu The Sims tidak tahu menahu bahwa Battle Squad Competition itu apaan? dan apa menariknya daripada main rumah-rumahan? Sialnya, cafe ini terhubung dengan bisnis raksasa pemiliknya, game online (yang bahkan di kala listrik mati, satu satunya yang masih benderang adalah tempat ini dan kampus saya). Sehingga, saya hanya melongo saat begitu banyak lelaki muda yang nongkrong di cafe sambil berdesus desus gaduh. 

Haduh.. dan hampir semua kursi terisi. Satu meja yang cukup lengang diisi dengan seorang bule tulen yang sibuk dengan laptop apel cuil-nya. Oh, betapa saya tidak enak hati. Saya mendapati fakta bahwa saya belum siap duduk berselancar di dunia maya bersama bule ciamik. Karena suatu alasan yang pasti: saya-belum-dandan.

Agak gugup saat saya terpaksa mengambil tempat di seberang bule. Dia terlihat begitu menawan saat lelaki-lelaki muda gamers-mania itu leyeh-leyeh, berisik, tiduran, dan kebanyakan tidak memesan apa-apa. Apa daya, saat berangkat saya mengidamkan pancake dan sialnya, makanan ringan itu habis. Saya yang biasa memesan kwetiauw, nasi goreng, dan nasi rica-rica mulai kebingungan.

Sebagai mahasiswi yang entah kenapa mengalami krisis percaya diri di depan bule, saya menilai makanan berat sangat tidak bergengsi. Dan akhirnya saya memesan chocolate shake, yang seharga dengan menu nasi. Betapa.. T.T

Sepuluh menit kemudian, bule itu, satu satunya objek hiburan saya, pergi. 
Ironis. 
Saat saya kelaparan. 

Tiba-tiba saya mulai tidak bernafsu mengerjakan sesuatu yang berkualitas seperti mengedit dan menulis dengan canggih. Saya mendapati serombongan lelaki mengucek mata dan mirip dengan saya; belum mandi sore. Bedanya, saya sudah cuci muka. 


Kamis, 24 Mei 2012

Sungguh Terlalu


Kepolosan Yoah seringkali menyebalkan. Aku masih saja terkejut mendapati komentarnya yang polos bin ajaib. Hal ini terbukti lagi saat kami berdua jalan-jalan ke mal, yang entah berapa abad lamanya tidak kami sambangi, dan kebetulan berniat menonton The Avengers


Yah, konsekuensi saat mengajaknya nonton kali ini adalah: 
1. Dia tidak tahu Marvel,
 2. Dia tidak kenal Johnny Deep, 
3. Dia lupa pada Joko Anwar.


 Sialnya lagi, setelah ditemani antri, ia akan menghilang di balik toilet pria, sehingga aku harus memutuskan sendiri dengan kebingungan bijak hendak menonton film apa, saat bioskop dipenuhi penggila superhero

Alhasil, terbeli sudah dua tiket Modus Anomali. Kau tahu? itu sejenis film thriller yang menyeramkan dan hanya bercerita di dalam hutan, sehingga mau tak mau, berkali kali aku menutup mata. Aku benci melihat adegan orang disayat seperti kambing kurban, apalagi membayangkan seseorang membuntuti lakon film dari belakang. 

Kebetulan pula, saat itu hanya terdapat segelintir penonton, sehingga membuat suasana semakin mencekam. Parahnya, Yoah sama sekali tidak setia kawan dalam menghadapi pasangan di sebelahnya yang berkali-kali memohon perlindungan. Ia-tanpa-ekspresi. Bahkan, ia tanpa kedip sambil mulut sedikit terbuka, terpesona melihat adegan per adegan yang menegangkan.

Dengan santai tanpa menoleh sedikit pun, ia menginstruksikan; "donat." Aku yang lebih mirip asistennya pun sibuk menghaturkan donat oreo bubuk. Film pun selesai dengan satu kesimpulan dari Yoah; nggak-jelas-aku-nggak-nyambung. Aku takjub, Yoah dengan antusias tingkat dewa masih saja kebingungan dengan alur dan konsep film. Padahal, *besar kepala dulu ah, aku justru paham bagaimana Joko Anwar secara brillian menulis naskah Modus Anomali lantas memfilmkannya dengan cukup ciamik.

 Astaga, padahal aku berkali-kali tutup mata. Tapi justru aku dapat mengulasnya lebih dalam dan pengertian daripada Yoah. Oh ayolah, Rio Dewanto sangat keren aktingnya, kecuali pada bagian berulang kali dia berteriak fuck. Maksudku, kosakata umpatannya terlalu monoton dan garing.

Selebihnya, fenomena yang sungguh terlalu terjadi saat aku menyedok yoghurt dengan lahap.

Yoah: "Apa itu..?" *menunjuk topping kiwi pada semangkuk kecil yoghurt plain.
Nut: "Eh..?"
Yoah: "Itu timun ya?" 
Nut: "AAAAARGGH, ini kiwi Yoah! Parah!"
Yoah: "Ah, bukan.. itu timun." *keras kepala
Nut: *&^%$#@!



Rabu, 02 Mei 2012

Motif Selalu Bervariasi


Berpergian ke mall dan membeli sesuatu di sana bukanlah tradisi sebagian besar orang-orang di Jogja, setidaknya bagi orang-orang terdekatku. Tapi, kemarin karena ada suatu hal yang cukup substansial --menunggu jam kuliah selanjutnya-- layaknya wanita normal, aku ikut terjebak ke mall bersama empat sekawan. Sebenarnya, 5 sekawan, tetapi Meg-Meg adalah tipikal mahasiswi rajin yang suka ngadem di mushola kampus. Jadi, Nduty pun gagal mengajaknya by phone.

Nduty: "Halo Meg, kamu mau ga' ikutan ke Gale? Jalan-jalan.. Oh, ada rapat ya.. oke kalo gitu.."
Inta: "Meg-Meg kumpul rohis lagi ya?"
Nut: "Nduty, harusnya kamu bilag studi banding, bukan jalan-jalan.."
Nduty: "Oh iya ya.. bener!"

Acara keliling mall pun dimulai. Sebenarnya bukan keliling areal pertokoan sih, lebih tepatnya menyisir deretan rak rak baju lusinan kali. Oleh karena aku sebelumnya tidak punya pengalaman window shopping dengan mereka, alhasil aku hanya manut ke tempat-tempat yang dituju meski mataku tidak bisa lepas dari konter frozen yogurht yang enak mampus.

Setelah satu jam keliling tanpa perubahan pada kantong dompet, akhirnya aku baru sadar bahwa hanya Nduty dan Inta yang terobsesi dengan busana. Sedangkan Lutis lebih memilih sekadar memilah jaket yang cocok buat KKN dan Hestong yang ingin cepat-cepat membeli kreps untuknya dan pacarnya. Aku pun lama berkutat pada toko-toko baju, dan rasanya resah, mondar mandir ga' karuan karena terusik aroma seafood di resto sebelah. Kulihat, Inta masih sibuk memilih baju bunga-bunga transparan dan dia perlu mencoba minimal tiga helai baju dengan motif bunga yang berbeda. Sedangkan Nduty, sibuk sekali berburu tank top.

Nut: "Eh ini bagus loh Nduty.. bajunya," *usulku semenarik mungkin dan menunjuk baju simpel berkerah renda.
Nduty: *melirik, "aku ga' suka model gitu.."
Nut: "Oh.. jadi mau beli yang model gimana?"
Nduty: "Nih nunggu mbaknya ngambilin stok tank top.."
Nut: "Item lagi..?"
Nduty: "Iya.. kan biar keliatan kurus. Tapi susah cari yang XL."
Nut: "Cari aja yang kainnya melar.."
Nduty: "Ah, ga' yakin aku.."
Nut: "Jangan-jangan di lemarimu tank top semua isinya.." *mulai curiga.
Nduty: "Hahahah, bener! ada 9 tank top item di lemariku. Kemarin baru beli dapat diskonan, sekarang beli lagi.." *ngikik inosen.

Lama-lama aku ternyata kelelahan juga. Mungkin karena faktor finansial tidak mendukung kali ya.. jadi aku pun pasrah menunggu Nduty dan Inta menyelesaikan hajat hidup mereka, sedangkan aku, Lutis, dan Hestong berdiri lesu di depan butik kebaya. Acara pun dilanjutkan makan es krim dan Hestong makan kreps (sialnya, aku baru tahu promo beli dua bonus satu krep lagi). Tiba-tiba, Nduty mulai panik. Hape nokia bututnya tidak ada di tas. Meski BB-nya sehat wal afiat di tas tapi Nokia butut itu rupanya tetap kesayangan nya.

Nduty: "Nut, tolong miskolin dong... sapa tau ketinggalan di mobil. Aduh, aku taroh mana ya?"

Perlu tiga kali misscall untuk menenangkan Nduty bahwa Nokianya aman-aman saja. Dan benar saja seperti dugaan kami, Nokia itu tergeletak manis di dashboard mobil.

-_-"

Di perjalanan balik ke kampus, aku mendapati bahwa sesungguhnya seseorang ingin cepat lulus itu dipengaruhi banyak motif yang berbeda. Dan hal ini aku temukan pada diri Lutis. Sebelumnya, aku mengenal Lutis sebagai mahasiswi yang pendiam, ga' neko neko, santun, dan budiman. Aku benar-benar baru menyadari bahwa ia luar biasa rajin saat kami menjadi partner untuk presentasi kelas Mas Riz. Aku hanya melongo, saat ia tunjukkan begitu banyak data yang ia temukan dan terpaksa aku ikut "serius" menyiapkan presentasi tentang Arab Spring yang menarik.

Aku pun baru tahu, di balik sikapnya yang tenang menghanyutkan, Lutis fobia gempa. Maksudku, dia sangat cemas saat mobil Nduty diparkir di basement dan aku pun sempat suatu kali membaca status facebooknya tentang seorang kakak di Sumatra.

Lutis: "Mas.. ndang metu o (cepat keluar), di tivi pada rame bilang kalo' disana gempa.." *nada luar biasa cemas.
Masnya: "Oh, sikik (sebentar), tak sholat ashar sik (aku sholat ashar dulu..)
Lutis: :'( antara cemas dan terharu jadi satu.

Lalu saat kami mendengar jawaban Lutis mau balik ke kampus padahal jadwal-kosong-mendadak ialah respon kami; geleng-geleng kepala.

Lutis: "Aku turun di kampus aja Nduty.."
Inta: "Loh, mau ngapain?"
Lutis: "Mau ke perpus, baca skripsi.." *tenang, mantap, bulat, penuh tekad.
Kami: "Wooo.. edyaaan..!"

Lalu aku pun menyelutuk tentang topik kebaya wisuda, dan merembet ke persiapan ribet mahasiswi menjelang wisuda.

Lutis: "Aku udah nggak sabar. Doain ya, targetku tahun depan udah wisuda.."
Nut: "Woo.... pake kebaya dong?"
Lutis: "Iya dong! kan wisuda sekali doang. Harus total. Aku mau gemukin badan.."
Nut: "Latihan pake' high heels juga Lut.."
Lutis: "He'em!" *mantap. "Biar cepat lulus, biar cepet kerja..."
Nut: "Waoow..."
Lutis: "Kan mau ada ada SS5..."
Nut: "Eh.....? apaan...?"
Lutis: "Super Show 5! jadi aku bisa beli tiket dan nonton konsernya!" *cerah, meregangkan tangan.
Nut: *speechless.

Padahal, baru saja Super Show 4 kelar dan Super Junior baru kemarin melambaikan tangan dramatis untuk pulang ke Korea, Lutis sudah berpikiran jauh ke depan. Dia sungguh visioner. Namun, setibanya di kampus...

Lutis: "Eh, aku pulang aja deh.. ga' jadi ke perpus."

-_-" ternyata dia labil juga.

Begitu pula Nduty yang tiba-tiba menyahut saat aku hendak menuju parkir sepeda.

Nduty: "Nut! Ngopo e kamu misscall hape-ku?" *sumpah dengan nada inosen sambil buru-buru ngecek hapenya.

\m/


Etimologi Pribadi

Mungkin malam ini bisa dibilang malam yang selo--luang. Sembari menikmati gangguan flu dan setelah puas menelusuri secara random berita terkait Justin Bieber, lalu lanjut ke Selena Gomez (dan aku tak ingin beropini dalam penyebutan negara "random" untuk Indonesia oleh JB), akhirnya pencarianku berakhir pada satu nama: Natia.

Percaya deh, karena ini memang terjadi untuk mahasiswi macam Mbejog yang kurang kerjaan tapi kreatif. Jadi percayalah, nama Natia ternyata jauh lebih menarik dibahas ketimbang penelurusan nama Syahrini atau pun Ashanti atau err.. Luhmann misalnya. Oh, percayalah.. Mbejog sampai takjub sendiri terhadap penemuan besar malam ini.

Jadi, singkat cerita, ada satu lagi kegemaran Mbejog yang kadang menuai protes dari berbagai kalangan, karena ulahku macam teroris selebritis. Aku suka sekali menggunakan nickname yang berbeda di tiap fase jenjang akademis. Karena nama yang dianugerahkan Tuhan melalui orangtuaku lumayan fleksibel keren, sumpah aku ga' bermaksud narsis, maka terjadilah mutilasi personal pada namaku. 

Berikut daftar nama yang telah dilegalisasi:

Tia: ini nama masa kecil, dan setiap orang di kelurga besar dan tetangga memanggilku demikian. Dan karena saat duduk di bangku SD aku luar biasa polos, (kau tahu? semacam nonton telenovela dan mengira ciuman itu hidung bertemu hidung, seperti mengendus), maka namaku tetap T-I-A.

Amanatia: ini cukup panjang memang sebagai panggilan. Namun salahku sendiri memperkenalkan demikian kala Masa Orientasi Siswa SMP, jadi aku pasrah saat temanku memanggilku Aman, dan Am-Am.

Ama: ini nama pendek yang digunakan teman teman sepesantren saat SMP dulu. Tidak banyak alasan mengapa mereka lebih menyukai memanggilku Ma, lalu berlanjut ke Mama, karena pengasuh pondok kebetulan bernama Junda. Kurang etis bukan kalau aku menyamai nickname Ibu asrama kami?

Junda: tentu, saat itu aku SMA, dan sama sekli tidak mengenal siapa pun sebelumnya karena aku termasuk murid jenis migran dari kabupaten lain. Menggunakan nama Junda pun masih sering disalahgunakan, menjadi Jindes, dan tafsiran umumnya aku lahir di bandara Juanda, Surabaya.

Natia: nah, ini! Ini-lah akhir aneka nama panggilan khas Mbejog. Digunakan saat mulai kuliah tanpa seizin orang tua (dan sejak kapan aku perlu izin? rasanya semacam hak prerogatif), dan berlanjut hingga detik ini. Awalnya, sungguh, aku hanya iseng dan butuh variasi nama. Tapi, ya ampuun, rasanya nama ini lama lama menjadi beken. Aih, sekampus pun tidak ada yang menyerupai. 

Akhir-akhir ini pun aku mempertimbangkan, bahwa N-A-T-I-A adalah nama yang cukup komersial. Oh, maksudku, aku harus jaga-jaga bukan jika suatu saat ada serbuan penggemar antah berantah yang meminta tanda tanganku? Aku pun sudah memulai merenovasi tanda tanganku yang kata Mbak Pu penuh risiko dan kerumitan hidup di masa depan, dan kata Lin-Lin susah untuk dipalsukan dalam rangka TA--Titip Absen.

Meski lidahku awalnya canggung juga mengucapkan "natia", serasa ya ampun.. ini nama siapa? asing sekali! dan beberapa orang akan mengernyit, "Nadia..?" lantas serta merta aku bilang namaku pakai T bukan D. Tapi, sebuah nama memang punya kadar estetika sendiri ya? Ini aku alami setelah teman SMA-ku cerita pengalamannya saat halal bihalal di sebuah komunitas regional di Jogja.

Mas Az: "Oh, dari SMA 1 Sidoarjo..., kenal Natia?" (kenalan baruku di fakultas saat masih berstatus Maba--mahasiswa baru)
Khariz: "Natia? Siapa, Mas?"
Mas Az: "Anak Komunikasi, anak 2009 juga.."
Khariz: "Hah? Junda, Mas?"
Mas Az: "Loh, namanya Junda?"
Khariz: "Iya! Amanatia Junda kan?! dia sekelas sama aku dulu."
Mas Az: "Oh, tapi namanya Natia.."
Khariz: "Oala.. Mas, itu Junek! JUNDA NENEK!"

Aku yang tidak-sedang-berada-di-TKP dan mendengar Khariz berkomentar dengan pede-nya, merusak citra perdanaku, pengen segera kutabok.

Khariz: "WUAHAHAHA! Nenek.. Nenek.... nama JUNDA aja jadi NATIA!"

Oh, iya, aku juga dipanggil Nenek oleh teman SMA. -_-"

Begitulah, namaku kini Nutia di blog (kata Vai, teman chat-ku, mirip merek selai), dan suatu ketika aku iseng searching nama Amanatia dan Natia di mesin pencari. Taraa! aku menemukan satu nama Amanatia (seorang dokter) dan Natia (nama hotel keren di Bali). Saat itu takjub dan terbersit ide untuk membuat proposal Honeymoon pada manager hotel Natia saat aku nikah kelak. Kau tahu, setelah 2014 pasti pesta resepsi tanpa sponsor merupakan sesuatu yang kuno. Percaya deh! Saat itu SBY pun sudah dianggap kuno.

Lalu malam ini aku mendapat pencerahan, bahwa nama Natia seperti halnya Nadia, er... cukup famous pasaran. Maksudku, di Negara Georgia, Natia adalah nama yang sangat familiar. Oh, aku pun menemukan di sejumlah situs-nama-bayi (kau belum pernah mampir kesana? maksudku, aku kadang kesana hanya untuk memikirkan masa depan bayiku kelak), nama Natia ternyata sama bermaknanya dengan nama Nadia. 

Oh.. okelah... *kecewa.

Pertama, aku menemukan album foto sekolah. Ia bernama Lominatze Natia. Dia.. cantik dengan rambut ikal eksotis.



Kedua, aku menemukan blog dan terdapat profil dari Natia Pavliashvili. Dia.. oke, cantik dan tentu, berhidung mancung.



Ketiga, aku menemukan pemain biola keren dan SO AM-AH-ZIING, Natia Mdinaradze, sumpah! kalian harus liat you tube-nya.



Keempat, yang paling dahsyat...! aku menemukan yang benar-benar seksi dan sensual, dan waow! Natia Makatsaria, Miss Rep. Georgia 2004. 



Emm.. dan selebihnya ada Natia Mosashvilli (manajer di New York), serta satu WNI status mahasiswi dan satu lagi manajer. Well, that's so great! *aku berasa menjadi alien karena perbedaan menyolok dari wanita-ras-mancung di atas, dan meskipun kami sama, n-a-t-i-a, tak satu pun dari mereka bersedia donor hidung padaku. \m/ 

Begitulah, di dunia ini, nama bukan hanya menjadi perkara yang enteng. Seperti halnya saat orang tuaku menyematkan nama Amanatia, yang berasal dari kata "amanat", yang bermakna "yang bisa dipercaya" atau interpretasi yang lain; Tuhan menitipkan kepercayaan besar pada orangtua-ku dengan kelahiranku.

Dan arti kata Natia pun cukup berbeda:


Polish Meaning: 
The name Natia is a Polish baby name. In Polish the meaning of the name Natia is: Hope.



Soul Urge Number: 11
People with this name have a deep inner desire to inspire others in a higher cause, and to share their own strongly held views on spiritual matters.

Expression Number: 9
People with this name tend to be passionate, compassionate, intuitive, romantic, and to have magnetic personalities. They are usually humanitarian, broadminded and generous, and tend to follow professions where they can serve humanity. Because they are so affectionate and giving, they may be imposed on. They are romantic and easily fall in love, but may be easily hurt and are sometimes quick-tempered.

Yap! dari bahasa Polandia, meski orang Georgia bersikeras mengatakan nama Natia berasal dari negerinya, yang bermakna cahaya. Jadi, daripada memihak, aku gabung saja artinya, jadi cahaya-harapan. Toh, keterangan di atas pun sangat gue-beud, *intuitif, romantis, penuh hasrat, inspiratif, penuh kasih sayang, dan segala hal yang positif-gratis-sebaiknya-dicomot-saja.

\m/