Senin, 13 Mei 2013

Elegi untuk Munir, Ode untuk Negeri Tanah Rendah




“Aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut" (Munir, Pejuang HAM)

Munir Said Tholib 1965-2004


Ketenangan itu benar-benar diterapkannya menjelang detik detik kematiannya di ketinggian 40 ribu kaki di atas Rumania, 7 September 2004. Di lantai pesawat, ia ditemukan tak bernyawa oleh awak kabin—yang mengiranya tertidur setelah menahan sakit—dengan telapak tangan membiru dan mulut yang mengeluarkan air liur. Dua jam kemudian ia mendarat di Bandara Schiphol—jika tak ada yang meracuninya—dan perjalanan akan dilanjutkan ke Utrecht University. Kursi untuk studi S2 hukum humaniter sudah menunggunya.

Mengapa Munir berkeinginan menimba ilmu hukum di Belanda?

Saya rasa tidak hanya Utrecht tujuan Munir ke Belanda. Banyak sekali tempat, waktu, dan kesempatan di sana untuknya agar bebas bersuara dan didengar publik internasional mengenai HAM di Indonesia. Saya yakin, salah satu tujuan utamanya adalah Den Haag. Kota yang berada di Belanda Barat ini merupakan markas dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional PBB (ICJ).

Sejarah panjang mewarnai keberhasilan Den Haag sebagai Kota Perdamaian dan Hukum Internasional. Pada tahun 1889 diadakan "Konferensi Pertama Den Haag", yang menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi menyangkut ketentuan hukum humaniter internasional. Hal ini mengakibatkan didirikannya "Dewan Arbitrase Internasional" yang juga ada di Den Haag sampai sekarang. 

Pengadilan/Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan badan kehakiman yang terpenting dalam PBB. Dewan keamanan PBB dapat menyerahkan suatu sengketa hukum kepada mahkamah tersebut. ICJ didirikan pada tahun 1945 oleh Piagam PBB, berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen. Mahkamah ini berfungsi untuk menyelesaikan sengketa antar negara dan kasus kasus internasional.




Seorang jutawan asal AS menyumbang dana sebesar $1.500.000 untuk membangun Vredespaleis. Istana Perdamaian ini dibangun tahun 1907 hingga 1913. Kini International Court of Justice (ICJ) berbagi kastil dengan Akademi Hukum Internasional Den Haag.


Sebuah pengadilan selanjutnya International Criminal Court (ICC), mulai beroperasi pada tahun 2002 melalui diskusi internasional. Ini adalah pengadilan internasional pertama yang mengadili mereka yang melakukan kejahatan perang dan genosida. 



Bangunan baru ICC (International Criminal Court) yang berdiri dengan luas 54.000 meter persegi ini juga menggunakan tanaman sebagai ‘secondary skin’ yang ramah lingkungan dengan biaya sebesar 200 juta euro.


Sejak dulu kala memang Belanda telah dikenal sebagai pelopor dalam bidang hukum. Jauh sebelum Konferensi Pertama Den Haag, Perjanjian Damai Westphalia pada 1648 merupakan peristiwa cikal bakal Hukum Internasional. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh lagi dalam Perjanjian Utrech.


Sedangkan di sisi tokoh, Belanda diwakili oleh Hugo Grotius. Ia merupakan filsuf Belanda yang menjadi pionir untuk konsep hukum internasional. Grotius yang jenius—terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Leiden sejak umur sebelas tahun—dijuluki Bapak Hukum Internasional. 

Hugo Grotius (1583-1645)

Saya tidak tahu apakah Munir juga mengidolakan bapak yang satu ini, namun salah satu konsep yang Grotius kenalkan pada masanya dalam masterpiece The Law of War and Peace, yakni ia berpendapat bahwa manusia dapat hidup dengan damai walaupun terdapat potensi konflik dalam dirinya. Hal itu dapat dicapai dengan cara menghormati hak-hak setiap orang. Well, sepertinya Munir tentu sepakat.

Meski pada akhirnya, Munir tak dapat merasakan indahnya belajar di Belanda, namun kisah hidupnya bukanlah hal remeh untuk publik di Negeri Kincir Angin. Berkali-kali Universitas Utrecht mengadakan diskusi terbuka bertemakan Munir, beberapa NGO yang berfokus pada HAM pun telah memproduksi film dokumenter tentangnya, dan bahkan walikota Den Haag membingkiskan kado untuk ulangtahun Suciwati—istri Munir—berupa nama sebuah jalan, Munirstraat.



Saya rasa banyak cara untuk menolak lupa atas tragedi kematian Munir. Salah satunya adalah mencari tahu motif Munir terbang ke Negeri Tanah Rendah, tempat di mana hukum internasional dijunjung tinggi.