Sabtu, 19 November 2011

Pulang untuk E-KTP

Seminggu yang lalu tanpa diduga sebelumnya, akhirnya aku pulang. Setelah melewati berbagai minggu di Jogja bahkan sangat menikmati Idul Adha di sini. Aku kira, Mum memang kangen dengan anak-anaknya yang terpencar karena jarak lokasi kampus masing-masing. Maka, di suatu sore yang gerimis sepotong sms masuk.

Nut, Nem.. kalian harus pulang. Ngurus KTP elektronik

Tentu saja aku terheran-heran. Maksudku, jarang sekali Mum menyuruhku pulang hanya karena urusan tidak krusial semacam KTP. Tapi yah, mungkin saja Mum menjadi super-sadar politik? Dan merasa tercerahkan sebagai Warga Negara Indonesia yang budiman sejak Hari Pahlawan kemarin terlampaui. Tapi dipikir-pikir, tidak terlalu rasional juga. Maksudku, Mum sudah membuktikan bahwa dirinya menjadi WNI yang budiman saat ia berkaca-kaca mendengar ceritaku tentang sejarah Freeport yang rakus. Dan terakhir Pemilu kemarin Mum ikutan nyontreng. Meski aku tidak tahu sekarang, apa ia menyesal memilih calon presidennya dulu.


Jadi, yah, oke, aku simpulkan Mum hanya sedikit beralasan bahwa sebenarnya beliau KANGEN anak-anaknya yang jauh ini. Oleh karena itu, aku pulang. Lantas ternyata, Mum memang tidak sedang merindukanku. Saat aku tiba di rumah pun, justru semua ruangan kosong. Mum asyik mengikuti undian merek motor hingga malam. -_-"

Namun, meski hanya tiga hari lamanya di rumah, aku cukup terhibur dengan ulah Nem, Jir, dan Ain. Mereka tumbuh dengan menakjubkan. Seperti biasa mereka selalu dapat mencengangkan. Maksudku, aku sebagai anak tertua dan jarang sekali berjumpa dengan mereka seringkali mengamati perkembangan mereka. Seperti seminggu yang lalu.

Perkembangan Nem: Ia tampak lebih gemuk, padat, berisi. Hahaha, aku sangat bahagia melihatnya tumbuh ke samping seperti aku. Dengan status sebagai anak kos, ia masih tidak bisa meninggalkan kebiasaan ngemilnya dan sangat menyukai segala lauk pauk.

Nut: "Lagi masak apa Mum?" melongok ke dapur.
Mum: "Gule kambing dengan kaki kambing," *aroma mulai tercium menguar kemana-mana.
Nut: "Yeiks.. aku ga' suka. Lagipula, lebaran kurban udah lewat seminggu.."
Mum: "Hoh! ya sudah, aku pengen kok. Lagipula Nem doyan banget gule kambing!"
Nut: -____-" *makan di pojokan dengan telur asin sambil mengabaikan ulah Ain tadi yang dengan semangatnya menunjukkan gigi kambing meringis di dalam kulkas.

Tetapi ternyata memang Mum sangat mengenal selera anaknya. Nem teramat doyan melahap gule dengan panci di atas meja. Perkembangan lain yang lebih berarti adalah ia mempunyai Ipad 2 sekarang. Tentu saja berkat keberuntungan yang selalu hinggap di atas kepalanya. Aku yang ehm cukup gaptek melek teknologi harus melongo saat menyaksikan Ain dengan asyik bermain macam-macam game di Ipad. Dengan lancarnya ia justru yang mengajariku cara menggunakan Ipad. Bukan saja aku yang terlihat ehm ndeso konvensional. Mum pun akhirnya harus selalu mengalah jika Ain sudah memonopoli Ipad.

Mum: "Ain.. Mum coba ya sayang? bentar aja.. Mum pengen baca Al Quran dari Ipad" *nada memelas.
Ain: *Sibuk sendiri otak atik game layar sentuh.
Mum: "Pinjem ya.. coba sih, Mum diajari."
Ain: *Masih abaikan.
Mum: *berlalu ke pojokan, ngambek.
Ain: "Sini looooh Mum, aku tunjukin caranya.."
Mum: "Ga usah! aku baca Al Quran di sini saja," *buka kitab.

Game yang Ain gemari pun sangat kekanak-kanakan. Oke, maaf, ia memang masih anak-anak. Wajar saja, ia suka sekali dengan aplikasi game Happy Feet yang menampilkan seekor penguin yang akan menirukan kata-kata yang kita lontarkan. Masalahnya adalah game sederhana alih suara itu pun sudah cukup peka tanpa perlu Ain berteriak-teriak di depannya. Betapa menyebalkan saat penguin mengoceh dalam bahasa Jawa dan pertandingan sepakbola Indonesia vs Thailand sedang berlangsung. Serius deh. 

Nut: *mecoba bermain game Rio, The Angry Bird. 
Jir: "Gini Mbak caranya, ketapelnya ditarik biar burungnya nabrak sangkar burung lain," *ajari kakaknya.
Nut: "Oke, gampang.." *praktekan level pertama. GAGAL.
Jir: "Duuuuh....." *nada keluh sangat dewasa melihat kemampuan bermain game-Ipad kakaknya sangat rendah.

Esoknya, secara serius memang penyelenggaraan E-KTP di kecamatan Porong disambut antusias oleh warga. Nem bahkan repot-repot bangun pukul lima saat aku masih terkapar di kasur. Hanya gara-gara antri buat nomor pembuatan E-KTP. Saat ia pulang dari kantor kecamatan untuk menjemputku, aku mendapati tasnya berisi satu kotak aneka kue. Aku pikir kantor kecamatan sangat berbaik hati pada pengantri nomer e-ktp, hingga akhirnya ibu menyatakan itulah kebiasaan Nem. Membeli camilan untuk dibawa ke kampusnya nanti siang. Astaga!

Proses pembuatan E-KTP berlangsung aneh. Maksudku, petugas kecamatan memotret dengan kamera DSLR namun hanya menekan tombolnya di atas tripod. *Sumpah deh! fotoku jelek banget saking tidak siapnya difoto secara kilat. Lalu petugas pun tidak mengetahui bahwa aku memakai softlens warna coklat dan masih tetap meneropong lensa imitasiku. Acara ini berlangsung menyenangkan kecuali petugas kecaamatan yang juteknya minta ampun. 

Nut: "Nem, fotoin dong.." *nyengir innocent di depan kantor kecamatan sambil sodorkan kamera ponsel.
Nem: "Oh iya ya, aku ambil foto kecamatan ah, buat nulis di blog soal E-KTP.." *keluarin Ipadnya. 
Nut: -________________-" astaga! betapa noraknya ia sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar