“Aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut" (Munir, Pejuang HAM)
Munir Said Tholib 1965-2004 |
Ketenangan itu benar-benar
diterapkannya menjelang detik detik kematiannya di ketinggian 40 ribu kaki di atas
Rumania, 7 September 2004. Di lantai pesawat, ia ditemukan tak bernyawa oleh
awak kabin—yang mengiranya tertidur setelah menahan sakit—dengan telapak tangan
membiru dan mulut yang mengeluarkan air liur. Dua jam kemudian ia mendarat di
Bandara Schiphol—jika tak ada yang meracuninya—dan perjalanan akan dilanjutkan
ke Utrecht University. Kursi untuk
studi S2 hukum humaniter sudah menunggunya.
Mengapa Munir berkeinginan
menimba ilmu hukum di Belanda?
Saya rasa
tidak hanya Utrecht tujuan Munir ke Belanda. Banyak sekali tempat, waktu, dan kesempatan
di sana untuknya agar bebas bersuara dan didengar publik internasional mengenai
HAM di Indonesia. Saya yakin, salah satu tujuan utamanya adalah Den Haag. Kota yang
berada di Belanda Barat ini merupakan markas dari Mahkamah Pidana Internasional
(ICC) dan Mahkamah Internasional PBB (ICJ).
Sejarah
panjang mewarnai keberhasilan Den Haag sebagai Kota Perdamaian dan Hukum
Internasional. Pada tahun 1889 diadakan "Konferensi Pertama Den Haag", yang
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi menyangkut ketentuan hukum humaniter
internasional. Hal ini mengakibatkan didirikannya "Dewan Arbitrase
Internasional" yang juga ada di Den Haag sampai sekarang.
Pengadilan/Mahkamah
Internasional (ICJ) merupakan badan kehakiman yang terpenting dalam PBB. Dewan keamanan PBB dapat
menyerahkan suatu sengketa hukum kepada mahkamah tersebut. ICJ didirikan pada
tahun 1945 oleh Piagam PBB, berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti dari
Mahkamah Internasional Permanen. Mahkamah ini berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa antar negara dan kasus kasus internasional.
Sebuah pengadilan selanjutnya International
Criminal Court
(ICC), mulai
beroperasi pada tahun 2002 melalui diskusi internasional. Ini adalah pengadilan
internasional pertama yang mengadili mereka yang melakukan kejahatan perang dan
genosida.
Sejak dulu
kala memang Belanda telah dikenal sebagai pelopor dalam bidang hukum. Jauh
sebelum Konferensi Pertama Den Haag, Perjanjian Damai Westphalia pada 1648
merupakan peristiwa cikal bakal Hukum Internasional. Dasar-dasar yang
diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh lagi dalam Perjanjian Utrech.
Hugo Grotius (1583-1645) |
Saya tidak
tahu apakah Munir juga mengidolakan bapak yang satu ini, namun salah satu konsep
yang Grotius kenalkan pada masanya dalam masterpiece
The Law of War and Peace, yakni ia
berpendapat bahwa manusia dapat hidup dengan damai walaupun terdapat potensi
konflik dalam dirinya. Hal itu dapat dicapai dengan cara menghormati hak-hak
setiap orang. Well, sepertinya Munir tentu sepakat.
Meski pada
akhirnya, Munir tak dapat merasakan indahnya belajar di Belanda, namun kisah
hidupnya bukanlah hal remeh untuk publik di Negeri Kincir Angin. Berkali-kali
Universitas Utrecht mengadakan diskusi terbuka bertemakan Munir, beberapa NGO yang berfokus pada HAM
pun telah memproduksi film dokumenter tentangnya, dan bahkan walikota Den Haag
membingkiskan kado untuk ulangtahun Suciwati—istri Munir—berupa nama sebuah
jalan, Munirstraat.
Saya rasa
banyak cara untuk menolak lupa atas tragedi kematian Munir. Salah satunya adalah mencari
tahu motif Munir terbang ke Negeri Tanah Rendah, tempat di mana hukum internasional
dijunjung tinggi.